Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TEBING TINGGI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2022/PN Tbt AGIL SATRIYA Kepala Kepolisian Resor Tebing Tinggi Cq. Kepala Satuan Reskrim Umum Polres Tebing Tinggi Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 05 Sep. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2022/PN Tbt
Tanggal Surat Senin, 05 Sep. 2022
Nomor Surat 4
Pemohon
NoNama
1AGIL SATRIYA
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Resor Tebing Tinggi Cq. Kepala Satuan Reskrim Umum Polres Tebing Tinggi
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
Jalan Merdeka No. 2,
Kel. Rambung, Kec. Tebing Tinggi Kota,
Kota Tebing Tinggi, 20616


Perihal    : Permohonan Praperadilan
  atas nama AGIL SATRIYA

 

Dengan hormat,

Kami yang bertandatangan di bawah ini:

Abdi MT. Purba, S.H.
Indira Muliani, S.H.

Advokat dan Konsultan Hukum pada “ LBH FERARI (FEDERASI ADVOKAT REPUBLIK INDONESIA) SIANTAR – SIMALUNGUN, ABDI MT. PURBA, S.H. & REKAN ”, yang beralamat di Jalan Sisingamangaraja No. 87 Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara.

Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 02 September 2022 (terlampir), baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama AGIL SATRIYA, Laki - Laki, Honorer PT. KAI, bertempat tinggal Huta Pondok Besar, Desa Dolok Kataran, Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, untuk selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”.

Dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap:
Kepala Kepolisian Ressor Tebing Tinggi Cq. Kepala Satuan Reskrim Umum Polres Tebing Tinggi, untuk selanjutnya disebut sebagai “Termohon”.


I.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRA-PERADILAN
1.    Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP“) banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme control terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Disamping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;

2.    Bahwa sebagaimana diketahui KUHAP Pasal 1 angka 10 menyatakan :
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3.    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan kepengadilan.”;

3.    Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1.    Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.    Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”;


4.    Bahwa lebih lanjut, Pasal 79 KUHAP menetapkan:
“Permintaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”;

5.    Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara manapun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari system hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut “terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini;

6.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

a.    Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
b.    Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
c.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012;
d.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
e.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;
f.    dan lain sebagainya;

7.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut:

Mengadili,
Menyatakan :
1.    Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
•    [dst]
•    [dst]
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

8.    Bahwa dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.


II.    ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

1.    Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014, MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
2.    MK beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”;
3.    Frasa “buktipermulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia)”;
4.    MK menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup;
5.    Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka;
6.    Bahwa pada tanggal 23 Agustus 2022 sampai dengan 24 Agustus 2022 Pemohon diminta keterangan sebagai saksi oleh Termohon yang mana Termohon meminta bantuan kerjasama dari Pemohon “sebagai saksi” untuk membantu Termohon menyelesaikan perkara lain;
7.    Bahwa setelah dimintai keterangan sebagai “saksi” Pemohon diizinkan untuk kembali kerumahnya namun wajib lapor pada senin dan kamis;
8.    Bahwa seiring berjalannya waktu tanpa adanya gelar perkara yang mengundang para pihak termasuk Pemohon dan Kuasanya, Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan melakukan penahanan sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon;
9.    Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Pemeriksaan Pemohon sebagai calon tersangka tidak pernah dilakukan oleh Termohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kepala Kepolisian Ressor Tebing Tinggi Cq. Kepala Satuan Reskrim Umum Polres Tebing Tinggi;
10.    Dengan demikian jelas tindakan Termohon tanpa pemeriksaan Pemohon sebagai calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo;

TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA DIKARENAKAN PERBUATAN HUKUM PEMOHON MURNI TRANSAKSI JUAL BELI


1.    Bahwa Pemohon merupakan pihak yang dirugikan akibat adanya Surat Penangkapan Nomor SP.Kap/18/IX/2022/Reskrim tanggal 01 September 2022 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp.Han/97/IX/2022/Reskrim tanggal 02 September 2022 yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Ressor Tebing Tinggi Cq. Kepala Satuan Reserse Kriminal Umum Kepolisian Ressor Tebing Tinggi;
2.    Bahwa sebelum peristiwa Penahanan terhadap Pemohon terjadi, Pemohon pada tanggal 2 Agustus 2022 benar membeli sebuah Handphone Redmi 8 ram 4/64 bekas seharga Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) melalui media sosial yang mana harga beli tersebut masih sesuai dengan harga yang beredar di pasaran;
3.    Bahwa setelah Pemohon dan Penjual sepakat untuk melakukan Jual-Beli, Pemohon beserta istrinya dan Penjual kemudian sepakat untuk bertemu dan melakukan transaksi, yang mana sebelum transaksi jual-beli berlangsung Pemohon dengan beritikad baik telah terlebih dahulu bertanya kepada Penjual asal usul serta kelengkapan Handphone bekas tersebut, yang mana Penjual berkata “Hanya ada Handphone dan charger (cas) saja dan merupakan handphone istrinya”;
4.    Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, Pemohon murni sebagai pembeli yang beritikad baik terhadap Handphone Redmi 8 ram 4/64 bekas tersebut;
5.    Bahwa pada hari Selasa, 23 Agustus 2022 Termohon datang ke tempat kerja Pemohon dan mempertanyakan Handphone Redmi 8 ram 4/64 bekas yang dibelinya berada dimana dan dengan beritikad baik Pemohon menyerahkan Handphone bekas tersebut kepada Termohon serta membantu Termohon untuk mencari dan menghubungi kembali Penjual Handphone Redmi 8 ram 4/64 bekas tersebut;
6.    Bahwa pada hari Rabu, 24 Agustus 2022 di dampingi Kuasa Hukumnya Pemohon dimintai keterangan oleh Termohon hanya sebagai “saksi” sampai si Penjual tersebut ditemukan oleh Termohon;
7.    Bahwa pada hari Kamis, 25 Agustus 2022 Pemohon di izinkan pulang oleh Termohon namun tetap harus wajib lapor pada hari senin dan kamis;
8.    Bahwa Pemohon dengan itikad baik pada hari Senin tanggal 29 Agustus 2022 dan 01 September 2022 datang ke SatReskrim Polres Tebing Tinggi untuk melakukan wajib lapor;
9.    Bahwa tanpa adanya pemeriksaan kembali pada Pemohon pada tanggal 01 September 2022 saat Pemohon kembali melakukan wajib lapor, Termohon langsung mengeluarkan Surat Penangkapan SP.Kap/18/IX/2022/Reskrim tanggal 01 September 2022 atas nama Pemohon atas dugaan “Pertolongan Jahat atau Tadah” sebagaimana dimaksud dalam Rumusan Pasal 480 KUHPidana, dari tindak pidana Kekerasaan Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Mengakibatkan Anak Meninggal Dunia atau Dengan Sengaja Menghilangkan Jiwa Orang Lain Subsider Pencurian Dengan Kekerasan Yang Didahului, Disertai Atau Diikuti Dengan Kekerasan Atau Ancaman Kekerasan Terhadap Orang Yang Mengakibatkan Meninggal Dunia yang diketahui terjadi pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2022 sekira Pukul 09.30 WIB di Jalan Prof. Dr. Hamka Lk. I Kel. Bulian, Kec. Bajenis Kota Tebing Tinggi tepatnya di Areal Bekas Pabrik Aspal, yang sama sekali tidak diketahui serta tidak ada kaitannya dengan Pemohon, karena yang dilakukan Pemohon murni transaksi jual-beli, yang mana Pemohon sebagai “pembeli yang beritikad baik”;
10.    Bahwa tanpa adanya gelar perkara yang menghadirkan Pemohon atau Kuasanya, dan atau  bukti yang cukup, Termohon menjadikan Pemohon sebagai “tersangka” dan kembali mengeluarkan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp.Han/97/IX/2022/Reskrim tanggal 02 September 2022 atas nama Pemohon yang diduga keras telah melakukan tindak pidana “Pertolongan Jahat atau Tadah” sebagaimana dimaksud dalam Rumusan Pasal 480 KUHPidana, dari tindak pidana Kekerasaan Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Mengakibatkan Anak Meninggal Dunia atau Dengan Sengaja Menghilangkan Jiwa Orang Lain Subsider Pencurian Dengan Kekerasan Yang Didahului, Disertai Atau Diikuti Dengan Kekerasan Atau Ancaman Kekerasan Terhadap Orang Yang Mengakibatkan Meninggal Dunia yang diketahui terjadi pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2022 sekira Pukul 09.30 WIB di Jalan Prof. Dr. Hamka Lk. I Kel. Bulian, Kec. Bajenis Kota Tebing Tinggi tepatnya di Areal Bekas Pabrik Aspal, yang sama sekali tidak diketahui serta tidak ada kaitannya dengan Pemohon, karena yang dilakukan Pemohon murni transaksi jual-beli, yang mana Pemohon sebagai “pembeli yang beritikad baik”;
11.    Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP;
12.    Bahwa berdasarkan pada alasan-alasan tersebut diatas, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana “Pertolongan Jahat atau Tadah” sebagaimana dimaksud dalam Rumusan Pasal 480 KUHPidana, dari tindak pidana Kekerasaan Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Mengakibatkan Anak Meninggal Dunia atau Dengan Sengaja Menghilangkan Jiwa Orang Lain Subsider Pencurian Dengan Kekerasan Yang Didahului, Disertai Atau Diikuti Dengan Kekerasan Atau Ancaman Kekerasan Terhadap Orang Yang Mengakibatkan Meninggal Dunia yang diketahui terjadi pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2022 sekira Pukul 09.30 WIB di Jalan Prof. Dr. Hamka Lk. I Kel. Bulian, Kec. Bajenis Kota Tebing Tinggi tepatnya di Areal Bekas Pabrik Aspal oleh Kepala Kepolisian Ressor Tebing Tinggi Cq. Kepala Satuan Reskrim Umum Polres Tebing Tinggi yang sama sekali tidak diketahui serta tidak ada kaitannya dengan Pemohon, karena yang  murni transaksi jual-beli, yang mana Pemohon hanyalah sebagai “pembeli yang beritikad baik”;
13.    Bahwa berdasarkan alasan serta uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM


1.    Bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta harus terjelma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut, maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
2.    Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati;
3.    Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’;
4.    Bahwa berdasarkan KUHAP, maksud dan tujuan Praperadilan adalah untuk tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan;
5.    Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 menyebutkan:

“ Frasa “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.”

Dari penjabaran tersebut diatas, penangkapan yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon tidak memenuhi unsur bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup adalah minimal 2 (dua) alat bukti, dimana Termohon hanya mendapati bukti berupa Handphone Redmi 8 ram 4/64 bekas beserta charger (cas)-nya;

6.    Bahwa M Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul: “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan“ (Hal. 158), menyebutkan bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP yang berbunyi:
  “ 1. Seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;
2.Dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti pemulaan yang cukup.“

7.    Bahwa pada Pasal 15 ayat 2 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 (Perkap No.8/2009) menyebutkan tindakan penangkapan hanya dapat dilakukan dalam pelaksanaan tugas kepolisian dengan alasan sebagai berikut:
a.    Terdapat dugaan kuat bahwa seseorang telah melakukan kejahatan;
b.    Untuk mencegah seseorang melakukan kejahatan; dan
c.    Untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.

Penangkapan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon belum memenuhi unsur adanya dugaan kuat bahwa Pemohon telah melakukan kejahatan karena masih minimnya bukti – bukti yang mengarah kepada tindakan kejahatan.
8.    Bahwa pada saat Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan melakukan penahanan terhadap Pemohon, penetapan tersangka dan penahanan dilakukan tanpa adanya gelar perkara yang dihadiri oleh Pemohon dan atau Kuasanya. Bahwa Frans Hendra Winarta, dalam artikel Gelar Perkara Bagian dari Sistem Peradilan, memandang gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan para pihak. Jika tidak menghadirkan para pihak maka gelar perkara yang dilakukan, dapat cacat hukum.

Bahwa oleh karena hal tersebut, penetapan Pemohon sebagai tersangka serta penahanan yang dilakukan Termohon terhadap Pemohon dapat dinyatakan sebagai tindakan yang tidak sah dan cacat hukum serta telah melanggar Hak Asasi Manusia Pemohon;
9.    Bahwa pada saat Termohon melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon, belum memiliki bukti permulaan yang cukup, yang mana hal tersebut jelas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014;
10.    Mengutip M. Yahya Harahap dalam bukunya berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP jilid 2 menyebutkan bahwa pada Pasal 95 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya kepada Praperadilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka berdasarkan alasan:
a.    Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah;
b.    Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan Undang – undang;
c.    Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa.

Dalam kasus ini, Termohon telah salah dalam menahan Pemohon, karena dalam hal ini Pemohon hanya seorang pembeli yang beritikad baik.


Bahwa berdasarkan pada fakta-fakta yuridis dan penjelasan diatas, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1.    Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan tindak pidana “Pertolongan Jahat atau Tadah” sebagaimana dimaksud dalam Rumusan Pasal 480 KUHPidana, dari tindak pidana Kekerasaan Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Mengakibatkan Anak Meninggal Dunia atau Dengan Sengaja Menghilangkan Jiwa Orang Lain Subsider Pencurian Dengan Kekerasan Yang Didahului, Disertai Atau Diikuti Dengan Kekerasan Atau Ancaman Kekerasan Terhadap Orang Yang Mengakibatkan Meninggal Dunia yang diketahui terjadi pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2022 sekira Pukul 09.30 WIB di Jalan Prof. Dr. Hamka Lk. I Kel. Bulian, Kec. Bajenis Kota Tebing Tinggi tepatnya di Areal Bekas Pabrik Aspal, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 480 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3.    Menyatakan tidak sah segala keputusan dan/atau penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
4.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
5.    Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
6.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Atau

Apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo et Bono).

Hormat Kami,
Kuasa Hukum Pemohon,

 

ABDI MT. PURBA, S.H.


INDIRA MULIANI, S.H.

 

Pihak Dipublikasikan Ya