Medan, Oktober 2018
Kepada Yth. :
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
Di Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
Jl. Merdeka No 2, Rambung, Tebing Tinggi Kota
Hal : Permohonan PRAPERADILAN
Terhadap Penetapan Penahanan dan Tersangka berdasarkan:
Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp. Sidik/04/X/2018/Satpolair tanggal 3 Oktober 2018;
Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sprin. Kap/04/X/2018/Satpolair, tanggal 03 Oktober 2018; dan
Surat Perintah Penahanan Nomor : SP. Han/04/X/2018/ Satpolair, tanggal 03 Oktober 2018;
Yang dikeluarkan oleh KAPOLRES SEDANG BEDAGAI Cq. KASAT POLAIR SERDANG BEDAGAI Cq. PENYIDIK SATPOLAIR SERDANG BEDAGAI
Kepada Yth. :
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
Di Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
Jl. Merdeka No 2, Rambung, Tebing Tinggi Kota
Dengan hormat,
Perkenankanlah Kami, JULHERI SINAGA, S.H.; MUHAMMAD IQBAL SINAGA, S.H., M.H.; MHD. MAHENDRA M. SINAGA, S.H., M.H.; M. HARIZAL, S.H.; RAHMAN GAFIQI, S.H.; DIAN RIZKY FAUZI, S.H. Advokat dan Penasihat Hukum pada Kantor “LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) MARHAENIS KOTA MEDAN yang berkantor dan beralamat di Jalan Ismailiyah No. 17, Kec. Medan Area, Kota Medan, HP. 0823 7008 1987, bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 05 Oktober 2018, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan hukum:
MUHAMMAD SYAFII Alias AMAT, laki-laki, umur 32 tahun, lahir di Batu Bara pada tanggal 22 Maret 1986, agama Islam, kewarganegaraan Indonesia, pekerjaan Nelayan/ Perikanan, beralamat di Jl. Asrama Koramil Linkungan 1, Kel. Pangkalan Dodek Baru, Kec. Medang Deras, Kabupaten Batu Bara, dan sekarang bertempat tinggal di Rumah Tahanan Polres Serdang Bedagai, Untuk selanjutnya disebut ............................................ PEMOHON;
Dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan sehubungan dengan dikeluarkannya: -------
Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp. Sidik/04/X/2018/Satpolair tanggal 3 Oktober 2018;
Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sprin. Kap/04/X/2018/Satpolair, tanggal 03 Oktober 2018; dan
Surat Perintah Penahanan Nomor : SP. Han/04/X/2018/ Satpolair, tanggal 03 Oktober 2018;
Terhadap :
KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, beralamat kantor di Jalan Trunojoyo No.3, RT.2/RW.1, Selong Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk selanjutnya disebut ............................................................................. TERMOHON I;
KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA, beralamat kantor di Jalan Tanjung Morawa Km.10.5, Timbang Deli, Medan Amplas, Kota Medan, Prov. Sumatera Utara, untuk selanjutnya disebut ....................................... TERMOHON II;
KEPALA KEPOLISIAN RESOR SERDANG BEDAGAI, beralamat kantor di Jalan Negara, Firdaus, Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Prov. Sumatera Utara, Untuk selanjutnya disebut .................................................... TERMOHON III;
KEPALA SATUAN POLISI PERAIRAN SERDANG BEDAGAI, beralamat Kantor di Jalan Bawal No. 1 Bedagai, Kabupaten Serdang Bedagai, Ptov. Sumatera Utara, Untuk selanjutnya disebut ..................................................... TERMOHON IV.
DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide. Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut “terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang pro-rakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;
Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Bahwa dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam BAB X Bagian Kesatu KUHAP dan BAB XII secara tegas dan jelas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh para penegak hukum (Penyelidik/Penyidik dan Penuntut umum) sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang wenang dengan maksud dan tujuan lain diluar yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan Hak Asasi setiap manusia/orang termasuk dalam hal ini adalah PEMOHON;
ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
PENAHANAN TERHADAP PEMOHON MERUPAKAN TINDAKAN YANG BERTENTANGAN DENGAN PASAL 100B UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DAN KUHAP
Bahwa pada hari rabu tanggal 03 Oktober 2018 sekitar pukul 12.30 Wib di Perairan Bedagai Kab. Serdang Bedagai pada posisi 03º 33’ 150” LU dan 99º 13’ 315” BT atau ± 2 (dua) Myl Arah Barat Perairan Bedagai Kec. Tg. Beringin Kab. Serdang Bedagai, PEMOHON di tangkap Oleh Anggota Kepolisian SAT POLAIR SERDANG BEDAGAI (ic. TERMOHON IV) berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sprin.Kap/04/X/2018/SATPOLAIR tanggal 03 Oktober 2018 yang dikeluarkan Oleh TERMOHON IV;
Bahwa pada saat Penangkapan, PEMOHON sedang menangkap ikan di Perairan Bedagai Kab. Serdang Bedagai dengan menggunakan kapal ikan KM. Tanpa nama bermesin Dongfeng 28 PK pada posisi 03º 33’ 150” LU dan 99º 13’ 315” BT atau ± 2 (dua) Myl Arah Barat Perairan Bedagai Kec. Tg. Beringin Kab. Serdang Bedagai dan setelah itu Petugas kepolisian dari SATUAN POLISI PERAIRAN SERDANG BEDAGAI melakukan patroli laut dan melihat PEMOHON sedang menangkap ikan dan langsung mendatangi PEMOHON dan memeriksa PEMOHON dan setelah diperiksa oleh Petugas Kepolisian Satuan polisi Perairan Serdang Bedagai kalau PEMOHON menangkap ikan dengan menggunakan Alat tangkap jenis Pukat Hela Dasar Berpapan (Otter Trawls).
Bahwa setelah itu kemudian Petugas Kepolisian Satuan Polisi Perairan Serdang Bedagai (TERMOHON IV) menyuruh PEMOHON dan 2 (dua) orang teman PEMOHON yang bernama HANAFI dan SALMAN untuk berhenti melakukan penangkapan ikan dan sesaat itu pula Petugas Satuan Polisi Perairan Bedagai Melompat ke kapal PEMOHON dan melakukan pemeriksaan ke kapal yang digunakan oleh PEMOHON.
Bahwa setelah itu petugas dari Satuan Polisi Perairan Bedagai (TERMOHON IV) menyuruh PEMOHON dan 2 (dua) orang ABK nya untuk tiarap dengan memukul kepala kepala PEMOHON dan 2 (dua) orang ABK nya.
Bahwa setelah menemukan alat tangkap ikan jenis pukat hela dasar berpapan (otter trawls) dibelakang kapal, TERMOHON IV membawa PEMOHON dan 2 (dua) rekan PEMOHON ke Kantor Satuan Polisi Perairan Bedagai untuk dilakukan pemeriksaan dan dimintai keterangannya terkait dengan Temuan barang-barang tersebut;
Bahwa kemudian TERMOHON IV menjadikan 1(satu) alat tangkap ikan jenis pukat hela dasar berpapapan (Otter Trawls), ikan sebanyak 35,2 kg dan 1(satu) unit kapal ikan KM. Tanpa Nama bermesin Dongfeng 28PK menjadi Barang Bukti dan Melakukan Penyitaan.
Bahwa adapun alasan TERMOHON IV melakukan penangkapan dan Penahanan Terhadap PEMOHON adalah karena menurut TERMOHON IV, PEMOHON diduga keras telah melakukan tindak pidana “setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa dan atau menggunakan alat penangkapan ikan yang menggangu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkapan ikan di wilayah pengelolahan perikananan negara republik indonesia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) subs Pasal 85 dari UU RI No. 45 Tahun 2009 Tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 “TENTANG PERIKANAN”.
Bahwa adapun bunyi Pasal 85 Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tersebut adalah:
Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Bahwa sedangkan bunyi Pasal 9 Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tersebut adalah:
Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bahwa dalam keterangan yang diberikan PEMOHON di hadapan Penyidik sat polair serdang bedagai (ic. TERMOHON IV) yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) menerangkan barang bukti 1 (satu) unit alat tangkap ikan jenis pukat hela dasar berpapapan, 1 (satu) buah fiber, 1 (satu) set katrol utuk menggiling pukat naik dan ikan campur-campur hasil tangkapan sebanyak 35,2 KG (tiga puluh lima koma dua kilogram) yang ditemukan didalam Kapal PEMOHON;
Bahwa selanjutnya PEMOHON dalam Keterangannya di depan Penyidik Satpol Air Serdang Bedagai (ic. TERMOHON IV) dan sudah dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Menerangkan “PEMOHON benar ada menggunakan alat penangkapan ikan jenis pukat hela dasar berpapan, PEMOHON menjelaskan di depan TERMOHON IV bahwa PEMOHON menggunakan kapal ikan KM. Tanpa nama bermesin Dongfeng 28 PK dengan ukuran kapal 3 GT (Gross Ton) dan tidak memiliki ijin sama sekali menangkap ikan sebab Kapal ukuran 3 GT (Gross Ton) tidak memerlukan izin;
Bahwa apabila dilihat dari ukuran Kapal yang digunakan oleh PEMOHON (3 (tiga) GT (Gross Ton)), maka PEMOHON dapat dikategorikan sebagai Nelayan Kecil dan hal ini juga telah disampaikan oleh PEMOHON pada saat diperiska oleh TERMOHON IV kalau PEMOHON adalah Nelayan Kecil yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bukan untuk merusak sumber daya ikan;
Bahwa apabila dilihat dari lokasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh PEMOHON, maka di daerah tersebut merupakan daerah yang berlumpur dan tidak ada terdapat terumbu karang, Namun setelah selesai melakukuan Pemeriksaan dan Meminta keterangan dari PEMOHON dan menyita barang Bukti yang ditemukan oleh TERMOHON IV dari kapal PEMOHON, selanjutnya TERMOHON IV melakukan Penahanan Terhadap PEMOHON di Rumah Tahanan Negara Polres Serdang Bedagai sejak Tanggal 03 Oktober 2018;
Bahwa tindakan TERMOHON III dan TERMOHON IV yang telah melakukan penahanan terhadap diri PEMOHON adalah tindakan yang sewenang-wenang karena TERMOHON III DAN IV telah memaksakan diri dan mencoba membuat seolah-olah sah dan cukup untuk membuktikan PEMOHON telah melakukan tindak pidana “Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang menggangu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dipidana dengan penjara paling lama 5(tahun dan denda paling bnayak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
Bahwa kejanggalan yang PEMOHON rasakan adalah Kenapa TERMOHON III dan IV melakukan penahanan kepada PEMOHON dengan sangkaan telah melanggar Pasal 9 ayat (1) subs Pasal 85 dari UU RI No. 45 tahun 2009 “tentang perikanan”, padahal telah terbukti kalau PEMOHON adalah dikategorikan sebagai nelayan kecil yang menggunakan kapal penangkapan ikan KM. TANPA NAMA bermesin Dongfeng 28 PK dengan ukuran 3 (tiga) GT (Gross Ton), hal ini telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 UU RI No. 45 tahun 2009 yang berbunyi:
“Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT)”.
Bahwa selain itu di dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam dengan tegas berbunyi :
“Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT).
Bahwa dengan demikian sudah jelas TERMOHON III dan IV salah dalam penerapan Pasal untuk melakukan penahanan terhadap PEMOHON, dimana seharusnya PEMOHON disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 100B UU RI No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 yang berbunyi:
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Bahwa sudah jelas dasar penerapan UU RI No. 45 Tahun 2009 perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah Peraturan Menteri Kelautan Perikanan RI No. 71 Tahun 2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penetapan Alat Tangkap ikan di wilayah pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang mana ada beberapa Surat Edaran Menteri Perikanan dan Kelautan yang memberikan tenggang waktu dalam penerapan hukum Bagi penggunaan alat tangkap yang salah menurut Permen KP No. 71 Tahun 2016 antara lain:
Surat Edaran No. 1/SJ/PL.610/I/2017 tentang Pendampingan Penggantian Alat Penangkap ikan yang dilarang;
Surat Edaran No. B.664/DJBT/PI/VII/2017 tentang Perpanjangan peralihan alat Penangkap Ikan Pikat Tarik dan Pukat Hela d Wilayah Pengelolaan Perikanan RI;
Surat Menteri KKP No. B-579/ MEN-KP/VIII/2018 Hasil Rapat Koordinasi Tanggal 30-31 Mei 2018 yang dengan jelas menyatakan dengan Tegas tindakan Penegakan Hukum untuk kapal 10GT ke atas dan tidak untuk Kapal 10 GT ke bawan sampai Penggantian Alkap dari Pemerintah untuk Kapal Nelayan Kecil.
Bahwa dengan demikian penahanan yang dilakukan TERMOHON III dan IV kepada PEMOHON adalah suatu bentuk PERBUATAN YANG MELANGGAR KETENTUAN DALAM KUHAP hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang berbunyi:
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Bahwa apabila Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP dihubungan dengan ancamana hukuman dalam ketentuan Pasal 100B Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 yang merupakan peraturan khusus di bidang Perikanan (sesuai Asas Lex Spesialist Derogat Lex Generalis), maka tindakan Penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON III dan IV adalah TIDAK SAH dan BATAL DEMI HUKUM karena ancaman hukuman yang dilanggar oleh PEMOHON adalah pidana penjara maksimal 1 (satu ) tahun;
Bahwa oleh karena ancaman pidana yang dapat disangkakan kepada PEMOHON adalah merupakan jenis Tindak Pidana Ringan karena ancaman hukumannya dibawah 5 (lima) tahun, maka menurut ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP, TERMOHON III dan IV tidak dapat melakukan penahanan terhadap PEMOHON;
Bahwa selain itu merujuk pada Putusan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 3/Pid.Sus.PRK/2018/PN.Mdn tanggal 31 Mei 2018 yang memiliki objek perkara yang sama dengan yang dialami oleh PEMOHON, dimana dalam perkara tersebut Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan Pasal 85 UU R.I. Nomor 45 Tahun 2009, akan tetapi Majelis Hakim menyatakan kalau Pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah salah karena Terdakwa adalah Nelayan Kecil yang memiliki aturan sendiri apabila menggunakan alat tangkap yang dilarang dalam mencari ikan, hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100B UU RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang berbunyi:
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.
Bahwa berdasarkan segala uraian diatas, maka tindakan yang dilakukan oleh Para TERMOHON yang telah melakukan PENAHANAN terhadap diri PEMOHON adalah TIDAK SAH dan BATAL DEMI HUKUM, dan oleh karenanya telah patut menurut hukum bagi PEMOHON memohon kepada Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Tebing Tinggi untuk menghukum TERMOHON III dan IV agar mengeluarkan PEMOHON dari dalam tahanan sampai dengan adanya Putusan Hakim Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Medan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
Bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 Pasal 1 ayat (3)) yang berbunyi:
“Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut”. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat;
Bahwa Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati;
Bahwa Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’;
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”;
Bahwa menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas);
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
dibuat sesuai prosedur; dan
substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaiman telah PEMOHON uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku;
Sehingga apabila sesuai dengan ulasan PEMOHON dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”;
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan;
Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON III dan IV kepada PEMOHON dengan menetapkan PEMOHON sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap PEMOHON dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
PETITUM DAN PERMOHONAN
Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang PEMOHON uraikan di atas, mohon kiranya Bapak Ketua Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Cq. Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili permohonan Praperadilan PEMOHON ini, berkenan memutuskan perkara ini dengan amarnya sebagai berikut :
Mengabulkan Permohonan Praperadilan PEMOHON dan dalil-dalil Praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya;
Menyatakan Penahanan terhadap diri PEMOHON berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP. Han/04/X/2018/Satpolair tanggal 03 Oktober 2018 adalah TIDAK SAH dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan Penahanan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
Menyatakan Penetapan Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp. Sidik/04/X/2018/Satpolair tanggal 3 Oktober 2018; Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sprin. Kap/04/X/2018/Satpolair, tanggal 03 Oktober 2018; Surat Perintah Penahanan Nomor : SP. Han/04/X/2018/Satpolair, tanggal 03 Oktober 2018 adalah TIDAK SAH dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan Penangkapan dan Penahanan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
Memerintahkan para TERMOHON untuk segera mengeluarkan PEMOHON dari Ruang Tahanan Negara Polres Serdang Bedagai pada kesempatan Pertama;
Membebankan biaya Perkara Kepada para TERMOHON.
------------------------“Atau apabila Ketua Pengadilan Negeri Tebing Tinggi C.q. Hakim Tunggal yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) atau mohon untuk mengadili menurut keadilan yang baik (naar gode justitie recht doen).” -------------------------------------------------
Mengabulkan Permohonan Praperadilan PEMOHON dan dalil-dalil Praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya;