Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TEBING TINGGI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2022/PN Tbt Suriani Alias Suri Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Cq. Kepala Kepolisian Tebing Tinggi Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 25 Mar. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2022/PN Tbt
Tanggal Surat Jumat, 25 Mar. 2022
Nomor Surat 2/Pid.Pra/2022/PN Tbt
Pemohon
NoNama
1Suriani Alias Suri
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Cq. Kepala Kepolisian Tebing Tinggi
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Hal     : Permohonan Praperadilan atas Nama SURIANI Alias SURI

Dengan hormat,
Yang bertanda dibawah ini :
1.    GOKMAULI SAGALA, S.H
2.    RUTH NAOLA PURBA, S.H
Masing-masing sebagai Advokat/Penasehat Hukum dari KantorHukum Gokmauli Sagala & Rekanyang beralamat diJalan Musyawarah Kiri No. 90 A, Kel. Sukadame, Kec. Siantar Utara,, Kota Pematangsiantar. Berdasarkan SURAT KUASA tertanggal 24 Maret 2022, yang dalam hal ini bertindak untuk dan atas namaSURIANI alias SURI sebagai Pemberi Kuasa.

Selanjutnya disebut sebagai---------------------------------------------------------------- PEMOHON

MELAWAN

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Cq. Kepala Kepolisian Tebing Tinggi yang beralamat di Jl. Pahlawan No. 1, Ps. Gambir, Kec Tebing Tinggi, Sumatera Utara;

Untuk selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------ TERMOHON

Bahwa untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penangkapan dan Penahanan dalam dugaan Tindak Pidana Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika oleh Kepala Kepolisian Resor Kota Tebing Tinggi.

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

I.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

a)    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan,penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia. Menurut Andi Hamzah (1986-10), praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme control terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Disamping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menangkap dan menahan seseorang menjadi tersangka.

b)    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 77 huruf (a) KUHAP :

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penggeledahan dan penyitaan”.
c)    Bahwa dalam perkembangan pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata–nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang sehingga bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya Penetapan Tersangka dan sah tidaknya PENANGKAPAN dan PENAHANAN telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik system hukum di Negara mana pun apalagi di dalam system hukum common law, yang telah merupakan bagian dari system hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut “terobosan hukum”(legal- breakthrough) atau hukum yang pro rakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannyamelainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini;
d)    Pasal 79 KUHAP: Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan digunakan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya;
e)    Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016Pasal 2 ayat 1 huruf a yang secara tegas menerangkan bahwa objek Praperadilan adalah sah atau tidaknya Penangkapan, Penahanan, Penghentian Penyidikan atau Penuntutan, Penetapan Tersangka, Penyitaan dan Penggeledahan;

f)    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa Putusan Pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga Lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut ini:

1.    Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No.01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
2.    Putusan Mahkamah Agung No.88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
3.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.38/Pid.Prap/2012/ Pn.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012;
4.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.04/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
5.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.36/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;
6.    Dan lain sebagainya.

g)    Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut diatas sah tidaknya penangkapan dan penahanan tersangka dasar hukum untuk mengajukan Praperadilan tersebut secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP;

II.    ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa Pemohon mengajukan pemeriksaan Praperadilan karena tidak terpenuhinya syarat formil dan materil penangkapan dan penahanan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16, pasal 17 , pasal 18 , pasal 19, pasal 20, pasal 21, pasal 38 dan pasal 39 KUHAPidana yang dikenakan dalam diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon;
1.    FAKTA FAKTA HUKUM

1.    Bahwa Pemohon adalah seorang warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai wiraswasta. Hal mana Pemohon telah ditangkap pada hari Selasa, tanggal 8 Februari 2022 di Kelurahan Lalang, Kec. Rambutan, Kota Tebing Tinggi di rumah kediaman Pemohon, tanpa ada surat tugas oleh Polsek Rambutan dari Kepolisian Resor Kota Tebing Tinggi yaitu penangkapan tersebut tanpa memperlihatkan Surat Penangkapan pada hari itu juga yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara yang disangkakan dan tempat ia diperiksa, dimana perbuatan Termohon tersebut telah melanggar Pasal 18 ayat (1) dan 3 (KUHAP);

2.    Bahwa Pemohon ditangkap pada tanggal  8 Februari 2022 oleh Kepolisian Sektor Rambutan dan dilakukan penahanan di Kepolisian Resor Tebing Tinggi sejak tanggal 8 Februari 2022 diberikan Surat Perintah Penangkapan pada tanggal 14 Februari 2022 bukan kepada KELUARGA PEMOHON;

3.    Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, penangkapan dan penahanan merupakan 2 (dua) hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenan dengan Pemohon Penahanan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan PENANGKAPAN dan PENAHANAN dengan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan;

2.    TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

1.    Bahwa Termohon dalam menetapkan Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika oleh Kepala Kepolisian Sektor Rambutan yang diteruskan kembali Kepala Kepolisian Resor Tebing Tinggi hanya berdasarkan pada ditemukannya 1 (satu) bungkus plastic di tempat tinggal Pemohon yang dibuat atau dititipkan oleh Kiting yang mana Pemohon tidak mengetahui apa isi dari bungkusan plastic tersebut;
2.    Bahwa berdasarkan pada kenyataan di tempat kejadian perkara , saat Pemohon sedang berada di rumah bersama keluarga Pemohon yakni , suami , anak dan menantu Pemohon yang terletak di Bukit Bandar Lk. III Kel. Lalang Kec. Rambutan Kota Tebing Tinggi, Pemohon sedang tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan tindak pidana Narkotika oleh karena Pemohon membuka usaha warung dan dititipkan 1 (satu) buah plastic oleh seseorang bernama Kiting;
3.    Bahwa setelah dititipkan barang 1 (satu) buah plastic di atas meja , Pemohon tidak ada menyentuh atau memegang plastic tersebut karena Pemohon tidak mengetahui juga apa isi dari dalam plastic tersebut yang dititipkan oleh Kiting, kemudian Pemohon memutuskan untuk pergi ke warung membeli snack atau jajanan bersama anak Pemohon tanpa memeriksa apa isi dari plastic tersebut;
Bahwa berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai “minimal dua alat bukti” sesuai Pasal 184 KUHAP;

4.    Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 yat (1), Subs Pasal 112 ayat (1) Jo Pasal 132 ayat (1) UU RI Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. Hal ini dipertegas kepada pihak Kepolisian Resor Tebing Tinggi tentang dugaan tindak pidana Narkotika, sesuai dengan Laporan Polisi Nomor : LP/A/II/2022/TT/BUTAN tertanggal 8 Februari 2022 dan Laporan Polisi Nomor : LP/118/II2022/SPKT tertanggal 8 Februari 2022, saat Pemohon ditangkap dan ditahan Termohon tidak pernah menerangkan atau memberitahukan atas dasar apa Termohon menangkap dan menahan Pemohon;     
5.    Bahwa tindakan yang dilakukan oleh Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara ini terlihat begitu “dipaksakan” karena Pemohon tidak mengetahui alasan sebenarnya Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dimana Pemohon tidak pernah ditunjukkan hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukan Termohon sesuai dengan Laporan Polisi Nomor: LP/A/II/2022/TT/BUTAN tertanggal 8 Februari 2022 dan Laporan Polisi Nomor : LP/118/II2022/SPKT tertanggal 8 Februari 2022;
6.    Bahwa atas hal tersebut Pihak Kepolisian Resor Tebing Tinggi tidak pernah melakukan proses Penyidikan dan Penyelidikan pada Pemohon sebagai saksi hingga Pemohon ditangkap dan ditahan oleh Termohon. Pemohon sudah dinyatakan sebagai Tersangka pertama kali sejak ditangkap oleh Kepolisian Sektor Rambutan yang kemudian dilakukan penahanan di Kepolisian Sektor Rambutan pada hari itu juga dan kemudian Pemohon dipindahkan ke Kantor Sat Narkoba Kepolisian Resor Tebing Tinggi;
7.    Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana Penyidik dengan kekuasaannya langsung menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tanpa pernah dipertanyakan  terlebih dahulu sebagai saksi atas ditemukannya plastic yang dibuat oleh Kiting di usaha warung milik Pemohon, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses Penyelidikan tentulah belum ada Penetapan Tersangka, kalaupun ada orang yang diduga Pelaku Tindak Pidana harus dilakukan Penyelidikan sesuai dengan Prosedur yang berlaku. Sedangkan Penetapan Tersangka, kalaupun ada orang yang diduga Pelaku Tindak Pidana harus dilakukan Penyelidikan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sedangkan Penetapan Tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses Penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses Penyidikan. Bukan ditangkap langsung ditetapkan jadi Tersangka. Hal itu sesuai dengan pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP;

8.    Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 21/PUU-XII/2014 maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum.

3.    ANALISA YURIDIS

1.    Bahwa Penangkapan oleh Termohon terhadap Pemohon adalah sangat tidak prosedural yaitu tidak memenuhi syarat formil dan materil, bertentangan dengan hukum, melanggar dan memperkosa hak asasi Pemohon, Karena fakta kejadian adalah Pemohon di tangkap oleh Termohon tanpa menunjukkan surat tugas, surat perintah penangkapan serta tidak memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga pada hari itu juga;
2.    Bahwa Penangkapan oleh Termohon terhadap Pemohon ternyata telah dilakukan tanpa memperlihatkan Surat Tugas pada saat itu, dan tidak memberikan Surat Perintah Penangkapan dan atau serta tembusan Surat Perintah Penangkapan tersebut tidak diberikan kepada Keluarga Pemohon, karena itu tindakan Termohon tersebut telah melanggar Ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP sebagai berikut:

Pasal 18 ayat (1) KUHAP:
“...Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa…”

Pasal 18 ayat (3) KUHAP:
“… Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan...”
3.    Bahwa dalam pasal 18 ayat (3) KUHAPidana tersebut sangat jelas menyebutkan bahwa Surat Penangkapan tersebut harus diberikan kepeda keluarga Pemohon, namun faktanya Keluarga Pemohon tidak pernah menerima dari Termohon atas surat Penangkapan terhadap Pemohon;
4.    Bahwa dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAPidana menyatakan sebagai berikut :

“penangkapan yang dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat paling lama 1 hari”
Bahwa berdasarkan pasal 19 KUHAPidana tersebut oleh karena Termohon melakukan penangkapan tanpa memperlihatkan surat tugas dan/atau surat perintah penangkapan, dan tidak segera memberikan tembusan kepada pihak keluarga tersangka maka penangkapan tersebut tidak sah.

5.    Bahwa Penangkapan oleh Termohon terhadap Pemohon ternyata telah dilakukan tanpa memperlihatkan Surat Tugas dan tidak memberikan Surat Perintah Penangkapan dan atau serta tembusan Surat Perintah Penangkapan tersebut tidak diberikan kepada Keluarga Pemohon, karena itu tindakan Termohon tersebut juga telah melanggar Ketentuan Pasal 70 ayat (2), Pasal 72, Pasal 75 huruf a dan huruf c PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PENANGANAN PERKARA PIDANA DI LINGKUNGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Perkap No. 12 Tahun 2009) sebagai berikut:

Pasal 70 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009:
“…Setiap tindakan penangkapan wajib dilengkapi Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan yang sah dan dikeluarkan oleh atasan penyidik yang berwenang…”

Pasal 75 huruf a Perkap No. 12 Tahun 2009:
 “…Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib: memahami peraturan perundang-undangan, terutama mengenai kewenangan dan tata cara untuk melakukan penangkapan serta batasan-batasan kewenangan tersebut…”

Pasal 75 huruf c Perkap No. 12 Tahun 2009:
“…Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib: menerapkan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi untuk tindakan persiapan, pelaksanaan dan tindakan sesudah penangkapan…”

6.    Bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya pejabat Kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma Hukum; Bahwa dalam perkembangannya Praperadilan telah menjadi fungi kontrol Pengadilan terhadap jalannya Peradilan sejak tahap penyelidikan khususnya dalah hal ini yang berkaitan dengan penangkapan, sehingga oleh karenanya tindakan tersebut patut dikontrol oleh Pengadilan dengan menyatakan bahwa Penangkapan oleh Termohon terhadap Pemohon adalah tidak sah secara Hukum karena melanggar ketentuan KUHAP;

7.    Bahwa selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

-    ditetapkan oleh pejabat yang berwenang,
-    dibuat sesuai prosedur; dan
-    substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penangkapan dan Penahanan Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku, alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
1)    Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah;
2)    Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat

Bahwa berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menangkap dan menahan yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum;
8.    Bahwa menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 160), menguraikan bahwa pemberian tembusan surat perintah penangkapan adalah untuk kepastian hukum bagi keluarga pihak yang ditangkap, sebab pihak keluarga dan tersangka mengetahui dengan pasti hendak ke mana tersangka dibawa dan diperiksa. Pemberian tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka, ditinjau dari segi ketentuan hukum adalah merupakan “kewajiban” pihak penyidik. Jika Surat Perintah Penangkapan tidak diberikan kepada pihak keluarga, mereka dapat mengajukan pemeriksaan kepada Praperadilan tentang ketidakabsahan penangkapan tersebut serta sekaligus dapat menuntut ganti kerugian; Demikian pula mengenai pemberian tembusan Surat Perintah Penahanan adalah “wajib” disampaikan kepada pihak keluarga orang yang ditahan. Hal ini dimaksudkan, disamping memberikan kepastian kepada pihak keluarga, juga sebagai usaha kontrol dari pihak keluarga untuk menilai apakah tindakan penahanan sah atau tidak. Pihak keluarga diberikan hak oleh undang-undang untuk meminta kepada Praperadilan memeriksa sah tidaknya penahanan;
9.    Bahwa oleh karena tindakan Termohon dalam melakukan penangkapan dan penahanan tanpa memberikan tembusan surat perintah penangkapan dan penahanan kepada Pemohon maupun keluarga Pemohon pada hari Pemohon ditangkap , maka tindakan Termohon adalah tidak sah, demikian pula menjadi tidak sah penangkapan dan penahanan terhadap diri Pemohon, sehingga mohon dibatalkan oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara aquo;

4.    PEMOHON DIPERIKSA TANPA DIDAMPINGI PENASIHAT HUKUM.

1.    Bahwa Pasal 114 KUHAP menyatakan: “dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHAP”
2.    Bahwa Pasal 56 ayat (1) KUHAP menyatakan “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”;
3.    Bahwa Pemohon telah diperiksa anggota penyidik Termohon tanpa didampingi Penasihat Hukum. Ini dapat memungkinan terjadi rekayasa dan jauh dari kesan objektif dan terpercaya dalam proses pemeriksaan penyidik. Padahal, pidana yang disangkakan kepada Pemohon tercantum dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika yaitu ancaman hukuman pidananya penjara 5 tahun. Dengan demikian seharusnya anggota penyidik yaitu Termohon wajib menunjuk menunjuk penasihat hukum bagi Pemohon sejak awal diperiksa dan ditahan sebagai tersangka;
4.    Bahwa karena tanpa pendampingan penasihat hukum, serta diperiksa dan menandatangani BAP tanpa didampingi Penasihat Hukum, maka tindakan tersebut bertentangan Peraturan Kapolri lebih-lebih bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, hingga BAP penyidikan pemeriksaan terhadap Pemohon adalah beralasan hukum mohon dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum;
Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan di atas, bahwa Penangkapan dan penahanan sebagai Tersangka atas diri Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku Tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka kami memohon Hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang memeriksa perkara aquo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

III.    PERMOHONAN

Berdasarkan seluruh uraian diatas, Pemohon dengan hormat kepada Ketua Pengadilan Negeri Tebing Tinggi cq. Hakim Pemeriksa Permohonan Praperadilan aquo untuk berkenan kiranya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

MENGADILI :

1.    Menerima Permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan tindakan Termohon melakukan Penangkapan, Penahanan dan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan dugaan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika oleh Kepolisian Resor Tebing Tinggi adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Penangkapan, Penahanan dan Penetapan Tersangka aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3.    Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan Penangkapan, Penahanan dan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon.
4.    Memerintahkan kepada Termohon untuk melepaskan Pemohon dari tahanan.
5.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon.
6.    Memulihkan hak-hak Pemohon, baik dalam kedudukan, kemampuan harkat serta martabatnya.
7.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Atau,
Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian Permohonan Praperadilan disampaikan, atas perhatian dan perkenaan Ketua Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Cq. Hakim Praperadilan Pemeriksa Permohonan aquo diucapkan terima kasih.

 

Pihak Dipublikasikan Ya